Pages

Thursday, January 14, 2016

"Akulah mukmin dan kamu kafir!"

Dengan nama Allah arRahman, arRahim.

Alhamdulillah 'ala kulli ni'mah. 

Alhamdulillah, atas lanjutnya usia kita sebagai seorang muslim dan mukmin, seiring pertambahan angka tahun dunia. 

Lalu sehebat apakah juga, lisan juga akhlak kita mencerminkan gelaran muslim dan mukmin yang selama ini kita genggam sampai saat ini? Apakah kita benar-benar berjaya menjadi qudwah hasanah buat ummat manusia di sekeliling kita? Bahkan juga buat mereka yang masih belum kembali bersama kita menyertai satu-satunya agama fitrah yang Allah ridhoi ini?

Maka, sedikit perkongsian enshaAllah buat kita mempelajari 'ibrah dari mereka yang terdahulu.


-----

Kereta kencana (emas) itu bergerak anggun. Kayu-kayu kokohnya yang dilak dengan logam mulia kilau-kemilau membinarkan cahaya matahari. Inilah al-Imam Ibn Hajar al-'Asqalani, penulis kitab Fathul Bari, penjelasan atas Sohih al-Bukhari yang diakui para ulama tiada tandingnya sampai hari ini. Usianya tak lagi muda ketika itu, tapi ummat di Mesir memohonnya tetap menjadi mufti sekaligus qadhiy. Maka sultan menyediakan baginya kenderaan yang memudahkan, meski sang alim sebenarnya enggan.

Saat kereta itu melalui tikungan di pasar, sang kusir (penunggang kereta kuda) yang terkejut, menarik kekang kudanya dengan tangkas. Kereta berhenti mendadak.

Rupanya seorang Yahudi penjual minyak tar merentangkan tangannya, menghalangi perjalanan. Imam Ibn Hajar turun dan tersenyum kepada lelaki itu, Kala mereka berhadap-hadapan, penampilan keduanya tampak bertolak belakang. Ibn Hajar terlihat anggun dan megah dengan imamah putihnya yang cerah. Sementara Yahudi penjual minyak tar itu jelas dekil, compang-camping, dan kumal. Bau hapak nyaris busuk menguar dari badan dan pakaiannya.

"Wahai pemuka Islam," lantangnya, "Nabimu mengatakan bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir."

Rupanya keturunan Baniy Israil menghafal hadits riwayat Imam Muslim ini. 

"Benarkah demikian?" Serunya.

"Betul," sahut Ibn Hajar dengan senyuman manis merekah dari bibir beliau, di atas janggut yang telah memutih, "demikianlah sabda baginda sollallahu 'alayhi wasallam."

"Kalau begitu, akulah mukmin dan kamu kafir!" 
Herdik si Yahudi dengan bentakan kasar.

"Oh," sahut Ibn Hajar sembari tersenyum lagi, "mengapa bisa demikian, hai Ahli Kitab yang malang?"

"Coba lihat," sambung si Yahudi, "aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak tar, miskin, dekil, compang-camping, dan lusuh. Aku merasa terpenjara oleh kefakiranku ini, sehingga aku adalah mukmin. Sedangkan kamu, hidup mewah dan tampil megah, menaiki kereta yang sangat indah. Sungguh, kamu seakan-akan hidup di surga. Maka sesuai hadits tadi, kamu adalah orang kafir."

Ibn Hajar menyimak dan menangguk-angguk penuh belas kasih. Setelah tersenyum dan menghela nafas, beliau berkata, "sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadits itu, duhai cucu Ya'qub?"

Lelaki itu mengangguk.

"Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku," papar Ibn Hajar, "sebab segala kemewahan yang ku nikmati sekarang, sungguh tak ada apa apanya dibandingkan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dunia ini masih menahan langkah kami dengan jarak dan waktu, menguji keyakinan kami dengan takut, lapar, lelah, kekurangan, kehilangan, kesempitan dan kesedihan. Adapun di surga, tak ada lagi semua itu, hanya nikmat yang tak berakhir lagi tak membosankan. Sungguh, meski kau melihat kami tampak megah dan mewah, kami sedang terpenjara kerana masih menanti nikmat yang jauh lebih berlipat."

"Adapun engkau, seperti telah kau rasakan, hidupmu di dunia memang disesaki kepayahan dan penderitaan. tetapi ketahuilah, semua nestapa yang mencekikmu itu tiada ertinya dibanding dengan apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka. Saat ini kau masih dapat bernafas lega, makan jika lapar, minum jika haus, juga memiliki anak dan isteri. Duniamu yang kau katakan menyiksa, sungguh adalah surga, tempatmu masih bisa tersenyum dan tertawa, berjalan dan berlari, bekerja dan memperoleh gaji. Betapa surganya itu, dibanding siksa abadi kelak di neraka sejati. Api yang menghanguskan, siksa yang meremukkan, kehausan yang diguyuri air mendidih. Kelaparan yang disuapi darah, nanah, dan zaqqum."

Yahudi penjual tar itu ternganga. Dia menunduk dan tergugu. Ketika mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca, dia berkata lirih, "Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah pesuruh Allah."

Segera, tanpa mempedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Imam Ibn Hajar memeluk si penjual minyak tar yang kini seorang muslim.

"Selamat datang! Selamat datang, saudaraku! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala puji-pujian hanya milik Allah yang telah menyelamatkanmu dari neraka!" 

Mereka pun berangkulan erat. Hari itu, si penjual minyak tar dibawa Ibn Hajar ke rumahnya, dididik dan akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang utama.

Mari takjubi kisah para solihiin, para penggamit hati. Pada ilmu dan daya ruhani mereka terkandung cahaya Allah. Maka setiapa kata dan lakunya memancarkan pendar-pendar hidayah. Maka penampilan dan perbicaraan mereka tetap menjadi lapis-lapis keberkahan.

Begitulah jiwa yang tersambung ke langit suci. Orang solih itu mengilhami. Bahkan 'ejekannya', telah menyelamatkan insan dari gelapnya kekufuran menuju terangnya Islam, dari keterbudakan pada dunia, menuju kemerdekaan sebagai hambaNya, dari neraka yang menanti isinya, menuju surga yang lebih rindu pada penghuninya.

# Lapis-Lapis Keberkahan//Penggamit Hati -Salim A. Fillah.